Saturday, May 13, 2017

makam raja raja demak, penyiar agama islam di jawa

Berziarah ke Makam Raja-Raja Demak di Masjid Demak
Sebelum membahas panjang lebar tentang makam raja raja demak, alangkah baiknya mengenal lebih jauh siapakah raja ataupun pendiri pertama kerajaan Demak Bintoro. Untuk mengupas tentang raja pertama kali kerajaan Demak Bintoro tidak lepas dari nama besar Raden Patah.
Raden Patah adalah seorang berdarah campuran China dan Jawa yang lahir di Palembang pada tahun 1455. Dia adalah pendiri pertama kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah sendiri sangat banyak mempunyai gelar antara lain ( Jin Bun, Pate Rodim, Tan Eng Hwa, dan Aryo Timur). Kisah hidupnya sangat menarik untuk kita pelajari. Perjuangan, kerja keras, dan sikap toleransinya sangat baik untuk di ulas, oleh karena itu mari kita simak silsilah, biografi, hingga makam dan akhir hayat dari pendiri Masjid Agung Demak ini.

Raden Patah merupakan silsilah anak dari Raja Brawijaya dengan selir China bernama Siu Ban Ci. Raja Brawijaya sendiri merupakan raja terakhir dari kerajaan Majapahit yang memerintah sejak tahun 1408 - 1501. Hubungan antara Raja Brawijaya dengan selirnya ini membuat Ratu Dwarawati, isteri Brawijaya cemburu. Karena buta dengan kecemburuan, Raja dipaksa untuk membuang selir tersebut agar tidak tetap tinggal di istana. Meski dalam masa hamil besar, Siu Ban Ci terpaksa harus pergi  menuju Palembang untuk tinggal bersama anak Brawijaya yang merupakan bupati Palembang masa itu, yakni Arya Damar. Setelah melahirkan Raden Patah, Siu Ban Ci kemudian menikah dengan anak tirinya sendiri yang tak lain adalah Arya Damar. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang putra bernama Raden Kusen. 
PERJALANAN HIDUP RADEN FATAH
Seiring berjalannya waktu, Raden Patah tumbuh dewasa. Pada waktu itu, dia diminta menggantikan ayah tirinya menjadi bupati Palembang, namun  dia menolak dengan berbagai alas an, dia memilih pergi kembali ke Tanah Jawa. Kaburnya tersebut disusul oleh adik tirinya setelah beberapa bulan. Raden Patah dan Raden Kusen, yang keduanya pergi ke Jawa dan menolak menjadi bupati tak lain adalah karena mereka ingin memperdalam ilmu agama Islam. Islam kala itu memang tengah mengalami perkembangan pesat di tanah air. Mereka berdua belajar ke Sunan Ampel di Surabaya. Setelah beberapa tahun mengaji, Raden Kusen kemudian kembali ke kerajaan kakeknya, yakni Brawijaya di Majapahit, sedangkan Raden Patah malah menuju Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagah Wangi dan menjadikannya sebagai tempat syiar Islam dengan mendirikan pesantren.
Raden Kusen kini telah menetap di kerajaan Majapahit dan telah diangkat sebagai adipati. Bersamaan dengan itu, pesantren yang didirikan Raden Patah pun berkembang dengan pesat dan maju. Mengingat kemajuan pesantren tersebut, Raja Brawijaya yang tak lain adalah ayah dari Raden Patah khawatir jika pesantren tersebut akan digunakan oleh Raden Patah sebagai alat untuk melakukan pemberontakan. Untuk menghindari hal itu, Raja Brawijaya pun menyuruh cucunya, yang tak lain adalah adik tiri dari Raden Patah – Raden Kusen, untuk mengundang Raden Patah. Sesampainya di Istana, Raja Brawijaya sangat amat kagum dengan sosok Raden Patah yang sangat sederhana, santun, berwibawa, dan berbudi. Brawijaya pun sangat senang melihat anak dari selirnya itu memiliki kepribadian kuat. Menyadari hal itu, Brawijaya pun mengangkat Raden Patah sebagai bupati Glagah Wangi. Tak berselang lama, Raden Patah pun merubah nama Glagah Wangi menjadi Demak dan menetapkan ibukotanya di Bintara. Di bawah pimpinan Raden Patah, Demak berkembang sangat pesat dan menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

pertama di Jawa. Beberapa bangunan bukti kemajuan kerajaan demak masih dapat kita jumpai saat ini, contohnya Masjid Agung Demak yang pada tahun 1479 diresmikan oleh Raden Patah Sendiri. Keturunan Raden Patah Menurut naskah babad Jawa, Raden Patah mempunya 3 istri yang antara lain: Putri Sunan Ampel yang kemudian melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana. Kedua anak dari isteri pertama ini secara berurutan kemudian naik takhta. Raden Surya bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Raden Trenggana bergelar Sultan Trenggana. Seorang putri dari Randu Sanga yang kemudian melahirkan Raden Kanduruwan yang pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa dalam menaklukkan Sumenep, Madura. Putri bupati Jipang yang kemudian melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyowo.
WAFAT DAN MAKAM RADEN FATAH
Raden Fatah meninggal pada usia 63 tahun karena sakit yang dideritanya. Dan dia dimakamkan tidak jauh dari masjid Agung Demak dan hingga kini makam Raden Fatah tersebut masih tetap terawat dengan baik bahkan dikunjungi banyak peziarah. Mungkin karena beliau dalam masa kehidupannya banyak berjasa dalam membangun kerajaan Demak, dan juga banyak jasa terhadap perkembangan agama islam di Tanah Jawa. Selain makam Raden Fatah masih banyak makam di lokasi makam Raden Fatah seperti istri, anak, dan juga keturunan keturunan beliau, hampir semua pejabat kerajaan dahulu di makamkan di area dekat makam Raden Fatah, bahkan bupati demak yang dalam beberapa tahun kemaren meninggal dunia dalam masa masih menjabat sebagai bupati Kabupaten Demak.
Di sekitar area makam para raja raja Demak juga terdapat gentong yang berisi air yang di percaya dapat menyembuhkan berbagai penyekit dan bisa awet muda.
MASJID DEMAK PENINGGALAN RADEN PATAH
Menurut beberapa catatan sejarah, Masjid Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Brawijaya V penguasa terakhir Kerajaan Majapahit, pada abad ke-15 tepatnya pada tahun 1466 sampai 1477. Ini sekaligus menjadikan masjid ini sebagai salah satu dari masjid tertua yang ada di Indonesia. Saat mendirikan Masjid Demak, masyarakat di sekitar masih banyak yang beragama Hindu atau Budha, sehingga dipilihlah arsitektur yang mendekati gaya bangunan Hindu untuk menjaga toleransi antar umat beragama pada saat itu.
Masjid Demak dibangun dengan atap berbentuk meru atau bersusun tiga yang lazim kita lihat pada bangunan pura. Meru sendiri melambangkan kehidupan manusia yang suatu hari nanti pasti akan kembali kepada Yang Di Atas. Atap meru ini disangga oleh sebanyak 128 tiang, dengan empat tiang di ruang utama didirikan oleh empat wali.
Gaya bangunan semacam ini disebut dengan Saka Majapahit dan tidak digunakan oleh masjid manapun di luar Indonesia. Sedangkan empat tiang yang menyangganya disebut dengan soko guru, atau tiang guru, melambangkan empat orang wali pertama yang menanamkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga.

1 comment: